Dunia pendidikan Indonesia memang tak pernah habis dari polemik demi polemik yang terus bermunculan. Mulai dari masalah gaji guru lah, bangunan sekolah yang tidak layak lah.. hingga ke masalah biaya masuk Universitas yang mulai tidak wajar. Apakah ini komersialisasi pendidikan?
Dewasa ini, universitas-universitas negeri mulai membuka jalur-jalur khusus masuk universitas. Di UGM kita menyebutnya Ujian Masuk (UM), UNDIP memiliki Ujian Mandiri (UM) yang sekarang bahkan dua tahap (UM I dan UM II), ITB memiliki Ujian Saringan Masuk (USM), dan masih banyak lagi.
Semua itu bermula sejak terbit Peraturan Pemerintah Nomor 153 Tahun 2000, yang isinya memberi keluasan penuh kepada UGM, ITB, UI, dan beberapa Universitas negeri lainnya untuk mengelola diri sendiri, termasuk menggali sumber keuangan. Statusnya pun diubah jadi badan hukum milik negara (BHMN). Pendeknya, dunia pendidikan kita memasuki era baru: pendidikan sebagai bisnis dimana Universitas sebagai produsen dan mahasiswa sebagai konsumen. Universitas kini bersiap untuk menjadi badan usaha dan beroperasi layaknya perusahaan. Dengan berubah watak sebagai badan usaha, universitas memang akan lebih mandiri. Mereka harus hidup dengan kaki sendiri, bukannya menadahkan tangan dari subsidi pemerintah. Tuntutan kemandirian itu menuntut universitas, seperti bentuk-bentuk usaha lain, untuk mengedepankan profesionalitas dan efisiensi. Universitas dituntut meningkatkan mutu layanan pendidikan jika ingin "laku" dan "untung". Universitas kini jauh lagi dari filosofi awalnya sebagai tempat untuk menimba ilmu berubah menjadi tempat untuk jual beli pendidikan dengan saling berlomba siapa yang paling tinggi bayarnya boleh masuk.. Lantas bagaimana nasib yang “kalah bersaing”?
Ya itulah nasib mereka, seperti kata Eko Prasetyo bahwa “TIDAK ADA SEKOLAH MURAH”, Maka “ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH”. Ironis memang ketika melihat banyak fakta orang-orang pintar tapi miskin yang akhirnya terpaksa “kalah bersaing” dengan orang-orang kaya tapi bodoh. Sebenarnya untuk apa Universitas didirikan? Bukankah untuk mencetak generasi masa depan yang dapat diandalkan untuk memajukan Indonesia di bidangnya masing-masing? Tetapi dengan komersialisasi pendidikan seperti ini, apa sebenarnya tujuan Universitas sekarang? Ingin berlomba-lomba mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari para mahasiswanya? Ironis! Beginilah tidak enaknya menjadi bangsa Indonesia.
Heru Nugroho, sosiolog UGM, mengatakan bahwa sekarang telah terjadi apa yang disebut "McDonaldisasi pendidikan tinggi" di Tanah Air: model restoran McDonald's yang bekerja dengan empat prinsip; kuantifikasi, efisiensi, keterprediksian, dan teknologisasi. McDonaldisasi perguruan tinggi akan menciptakan sangkarnya sendiri: pertumbuhan, kuantifikasi, dan keharusan memproduksi sebanyak mungkin. "Konsep yang awalnya rasional, yakni otonomi kampus, akhirnya berujung irasionalitas, seperti dehumanisasi, terpinggirnya kalangan tak berada, dan penurunan kualitas pendidikan tinggi," Kecenderungan ke arah itu kini kian terang ditonjolkan oleh para pengelola sejumlah universitas negeri kita. Karena itu, pemerintah-mau tak mau- harus mencari jalan tengah antara kedua ekstrem itu.
Karena itu adalah sistem dan kita sebagai rakyat mau tidak mau memang tidak bisa tidak tunduk pada sistem, maka yang bisa kita lakukan mungkin dengan mencari beasiswa sejak dini. Beasiswa ada dimana-dimana jika kita jeli mencari pasti bisa. Pihak Universitas juga biasanya menyediakan banyak beasiswa, terutama UI yang beasiswanya bertebaran. Kemudian dari pihak Universitas harusnya merealisasikan dengan benar subsidi silang dari uang sumbangan masuk mahasiswa lewat jalur-jalur khusus itu kepada mahasiswa yang kurang mampu sehingga penyaluran uang-uang sumbangan tersebut lebih real dan bermanfaat.
Jadi memang benar, sekarang ini bagi kebanyakan Universitas Negeri, rupanya slogannya telah menjadi “Ada harga, ada rupa”. Swastanisasi dan Mc.Donaldisasi Universitas Negeri memang sedang melanda Negara ini.